Minggu, 15 Januari 2012

kewirausahaan 2

Sekolah

Sekolah Bukan studi, bukan pula belajar. Bukan juga mencari arti kehidupan, apalagi persiapan masa depan. Sekolah atau School sama-sama berakar dari bahasa Yunani, tepatnya kata Schole Yang berarti Waktu Luang.
Entah siapa yang pertama kali memakaikan kata “waktu luang” untuk salah satu aktivitas paling dibenci anak-anak di seluruh dunia ini. Tapi yang jelas, dia pasti punya selera humor yang unik
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (atau "murid") di bawah pengawasan guru. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib. Dalam sistem ini, siswa kemajuan melalui serangkaian sekolah.
Nama-nama untuk sekolah-sekolah ini bervariasi menurut negara (dibahas pada bagian Daerah di bawah), tetapi umumnya termasuk sekolah dasar untuk anak-anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan pendidikan dasar.
Selain sekolah-sekolah inti, siswa di negara tertentu juga mungkin memiliki akses dan mengikuti sekolah-sekolah baik sebelum dan sesudah pendidikan dasar dan menengah. TK atau pra-sekolah menyediakan sekolah beberapa anak-anak yang sangat muda (biasanya umur 3-5 tahun). Universitas, sekolah kejuruan, perguruan tinggi atau seminari mungkin tersedia setelah sekolah menengah.
Sebuah sekolah mungkin juga didedikasikan untuk satu bidang tertentu, seperti sekolah ekonomi atau sekolah tari. Alternatif sekolah dapat menyediakan kurikulum dan metode non-tradisional. Ada juga sekolah non-pemerintah, yang disebut sekolah swasta. Sekolah swasta mungkin untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus ketika pemerintah tidak bisa memberi sekolah khusus bagi mereka; keagamaan, seperti sekolah Islam, sekolah Kristen, hawzas, yeshivas dan lain-lain, atau sekolah yang memiliki standar pendidikan yang lebih tinggi atau berusaha untuk mengembangkan prestasi pribadi lainnya. Sekolah untuk orang dewasa meliputi lembaga-lembaga pelatihan perusahaan dan pendidikan dan pelatihan militer.
Namun sekolah pada dasarnya tidak menjamin bahwa seseorang akan mendapatkan pekerjaan maupun hidup bahagia dan tentram. Sekolah hanya membuat seseorang dapat mengetahui tentang dasar-dasar kehidupan dan cara kita berinteraksi pada dunia luar. Seperti opini yang di ditulis Yudhistira ANM Massardi berjudul“Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!” Judul Opini Kompas, 8 April 2011.
Judul opini ini mengundang untuk ditelusuri lebih lanjut. Secara kasat mata, judul ini menurunkan gairah para pencari ilmu. Bayangkan jika anak SD, SMP, dan SMA mengerti betul apa arti judul tulisan ini. Sebuah kalimat perintah untuk berhenti bersekolah. Atau juga, sebuah ajakan. Kalau begitu, sia-sialah anak-anak mengenyam pendidikan di sekolah.
Yudhistira ANM Massardi menulis demikian, ”Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai—katakanlah hingga dua dekade ke depan—yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur.” Jika demikian, betapa malang nasib anak didik yang menjadi tenaga kerja industri dan tenaga kerja bermental pegawai. Mereka akan jadi penganggur.
Sastrawan dan Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi ini mempunyai data jumlah penganggur dan siswa putus sekolah. Sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana menganggur. Siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA yang tercatat sejak 2002, berjumlah rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun. Jika seperti ini yang terjadi, negeri ini sebenarnya dipenuhi penganggur. Siapkah para siswi/a dan mahasiswi/a menghadapi tantangan ini.
Saya tertarik melihat beberapa penjual makanan yang membagikan karya mereka saat acara “Malam Budaya” di kampus dua malam lalu. Dengan ramah mereka melayani kami. Mereka adalah “orang kecil” namun pekerjaan mereka berguna bagi “orang besar”. Mereka mungkin tidak sempat mengenyam pendidikan seperti kami, para mahasiswi/a yang setiap hari bergelut dengan ilmu. Namun, mereka bisa “mengisi perut” dari hasil jualan mereka. Dengan kata lain, mereka adalah orang sukses.
Fakta sekarang memang berubah dari anggapan sebelumnya bahwa “bersekolah dulu supaya mendapat pekerjaan yang bagus”. Ada orang sukses yang tidak melalui pendidikan di sekolah formal. Sebaliknya, ada penganggur yang lulusan diploma atau sarjana. Kalau demikian “Untuk apa kita sekolah?”
Sebuah “survei” di situs yahoo menguraiakan pertanyaan “Untuk apa kita pergi ke sekolah setiap hari walau sekolah tidak menjamin hidup baik?” Salah satu jawaban pembaca situs ini demikian “Sekolah bukan untuk menjamin hidup baik, tetapi dengan bersekolah kita bisa berpola pikir lebih dewasa dan berperilaku yg baik. Selain itu kita juga belajar untuk bergaul, bersosialisasi, semakin banyak teman, semakin besar peluang untuk hidup lebih baik karena dengan berteman dan bersosialisasi bisa mendatangkan kesempatan pekerjaan”.
Jawaban di atas bisa menjadi pijakan bagi kaum didik. Sekolah bukan menjamin hidup baik. Fakta di atas tadi bahwa ada diploma dan sarjana yang menganggur. Meskipun ada juga yang mendapat pekerjaan yang layak. Sekolah memang bagai dua sisi mata uang ketika dikaitkan dengan peluang hidup baik. Dengan bersekolah, peluang masa depan lebih baik terjamin sekaligus tidak terjamin.

Namun, sekolah menjadi “tempat didik” untuk berpola pikir lebih dewasa dan berperilaku baik. Di sekolah, dua sikap ini ditempa habis-habisan. Beruntunglah mereka yang betul-betul memanfaatkan kesempatan ini. Selain itu, sekolah juga menjadi “tempat didik” bersosialisasi, bergaul dengan banyak teman yang multikarakter.
Trilogi bermasyarakat “Pola pikir”, “Pola laku”, dan ”Pola gaul” menjadi tiga hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang pola pikirnya bagus akan dihormati. Orang yang pola lakunya bagus akan dihargai. Dan, orang yang pola gaulnya bagus akan disenangi. Ketiganya menjamin seseorang mendapat banyak teman. Banyak teman/sahabat/kenalan menjamin banyak peluang untuk mendapat pekerjaan.

Anggapan “orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai” kiranya kurang bagus. Pendidikan (sekolah) hanyalah “tempat didik” dan bukan berorientasi mencetak tenaga kerja. Persoalan akan menjadi tenaga kerja atau tidak di kemudian hari bukanlah tugas sekolah.
Sekolah mempunyai efek tidak langsung dalam membentuk kepribadian tenaga kerja. Jika tiga aspek di atas melekat dalam diri seorang anak didik maka dia akan menjadi tenaga kerja berkualitas. Jika tidak menjadi tenaga kerja, dia tetaplah seorang manusia yang berkualitas di tengah masyarakat.
Yudhistira ANM Massardi di akhir tulisannya menyebut dua kata kunci “kreativitas” dan “imajinasi”. Orang yang kreatif amat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai persoalan. Kreatif menyelesaikan sebuah tugas berarti menjadikan tugas tersebut sebagai sesuatu yang berguna, baru, dan dapat dimengerti. Sebab, “Kreativitas adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya baru, inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh, mengejutkan, berguna (useful), lebih enak, lebih praktis, mempermudah, memperlancar,……” (A.M. Mangunhardjana, 1992, Mengembangkan Kreativitas, hlm. 11).
Pribadi imajinatif mempunyai orientasi dalam bekerja. Pekerjaan tidak hanya dinilai “sekarang” tetapi juga dampaknya bagi “masa mendatang”. Benar apa yang dikatakan Yudhistira ANM Massardi bahwa dua hal ini belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun.
Akhirnya kita sekolah bukan melulu menjadi tenaga kerja guna kepentingan industri dan bermentalitas pegawai. Kita sekolah untuk hidup dan bukan hidup untuk sekolah. Sekolah untuk hidup berarti kita sekolah untuk mengerti hidup ini. Hidup untuk sekolah berarti seluruh hidup kita dihabiskan untuk sekolah. Kalau seperti ini, kapan kerjanya?? Non Scholae Sed Vitae Discimus. Pepatah Latin yang artinya kita belajar untuk hidup dan bukan demi sekolah, bukan demi kepentingan industri, dan tenaga kerja bermental pegawai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar